Lakum Dinukum Waliyadin
“Bagimu agamu, dan bagiku agamaku”, inilah terjemahan dari QS. Al-Kafirun: 6 yang sering kita dengar selama ini. Tidak ada yang salah dengan terjemahan itu, tapi lebih dari sana marilah kita simak bagaimana ulama tafsir menjelaskan pemahaman ayat ini.
Surat Al-Kafirun adalah nama yang paling masyhur bagi surat ini, walaupun dalam kesempatan yang lain surat ini juga disebut dengan suratAl-Ikhlash, sama seperti nama surat Qulhu, mengingat tema sentral ayat ini sama dengan apa yang terkandung dalam surat Qulhu, dimana keduanya berbicara tentang aqidah seorang muslim.
Sehingga wajar saja jika Rasulullah SAW pernah berpesan agar surat ini dibaca oleh seorang muslim sebelum dia berbaring ditempat tidurnya, sebagai cara melepaskan diri dari segala dosa orang-orang yang menyekutukan Allah. Dan perilaku ini juga menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, demikian penjelasan At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.
إذا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ: ” قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ” حَتَّى تَمُرَّ بِآخِرِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشَّرَكِ
“Jika kalian pergi ke tempat tidur maka bacalah: Qulya Ayyuhal Kafirun, hingga akhirnya, karena (bacaan surat itu) pelepas diri dari kesyirikan”
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَرَأَ: ” قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ” حَتَّى يَخْتِمَهَا
“Bahwa Rasulullah SAW ketika hendak tidur beliau membaca: Qul ya Ayyuhal Kafirun, hingga mengkhotamkannya”
Ar-Razi dalam kitab Mafatih Al-Ghaibnya menambahkan bahwa surat ini juga dikenal dengan nama Al-Muqasqisyah (penyembuh), karena kandungan surat ini diharapkan bisa menyembuhkan dan menghilangkan penyakit nifaq dan kemusyrikan.
Sebab Turun
Abu Hayyan (w. 745 H) dalam tafsirnya Al-Bahru Al-Muhith menjelaskan kepada kita perihal sebab turun surat ini. Bahwa ada beberapa tokoh kaum musyrikin Mekkah mendatangi Rasulullah SAW, diantara mereka adalah Al-Walid bin Al-Mughirah, Umayyah bin Khalaf, Aswad bin Abdul Mutthalib, menawarkan kompromi menyangkut cara beragama.
Pada mulanya mereka menawarkan harta, wanita dan tahta, kepada Rasulullah SAW supaya beliau berhenti dari aktivitas dakwahnya, namun tawaran itu tidak membuat Rasulullah SAW sama sekali tertarik.
Hingga pada akhirnya mereka menawarkan agar sesekali mereka ikut menyembah Tuhannya Muhammad, dan sekali lainnya agar Muhammad dan pengikutnya menyembah tuhan mereka. Jika saja yang benar itu adalah agama Muhammad maka mereka pun mendapat keuntungan dari penyembahannya, namun jika yang benar itu adalah agama mereka, maka Muhammad dan pengikutnya pun mendapat kebaikan dari sana. Demikian lebih kurang kompromi akhir yang mereka utarakan.
Untuk menjawab tawaran itu maka turunlah surat ini. Sebenarnya penolakan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu sangat logis, walaupun pada akhirnya jawaban itu didukung oleh wahyu yang turun, karena tidak mungkin rasanya terjadi penyatuan agama-agama, setiap agama punya aturan yang berbeda, dan setiap agama ajaran pokok yang rincian yang berbeda.
Mengapa Banyak Pengulangan?
Jika kita perhatikan, surat Al-Kafirun ini terdapat banyak pengulangan secara redaksi, ada yang hampir sama, ada juga yang sama persis. Ayat ke 2 dan ke 4 hampir sama, sedang ayat ke 3 dan ke 5 sama persis.
Ayat ke 2 dan ke 4 dibedakan dalam dua hal; ayat ke 2 menggunakan pola kalimat fi’liyah yang diakhiri dengan kata kerja mudhari’ (akan datang); sedang ayat ke 4 menggunakan pola kalimat Ismiyah dan akhir ayat ditutup dengan menggunakan kata kerja madhi (bentuk lampau).
Perhatikan kedua ayat tersebut:
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2)
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4)
Kedua ayat diatas jika diterjemahkan memiliki arti yang sama, namun disinilah fungsi tafsir. Al-Bukhari, seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim menjelaskan bahwa pemakaian kata kerja mudhori’ pada ayat ke 2 bermakna bahwa Rasulullah SAW tidak akan pernah menyembah apa yang orang-orang kafir sembah, baik sekarang maupun dimasa yang akan datang. Karena memang dalam sejarahnya orang-orang kafir itu punya tradisi mengubah sembahan mereka jika dirasa ada sesuatu baru yang “asyik” disembah.
Sedang ayat ke 4 yang menggunakan kata kerja masa lampau maksudnya bahwa putusan untuk tidak menyembah apa yang orang kafir sembah itu bukan putusan hari ini saja, tapi putusan itu sudah sejak lama, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah sekali pun dahulunya menyembah apa yang mereka sembah.
Adapun redaksi pertama dengan pola kalimat jumlah fi’liyah menunjukkan tidak akan ada perilaku menyembah tuhan mereka, sedangkan redaksi dengan pola jumlah ismiyah menunjukkan penolakan keseluruhan dari apa yang ditawarkan kepada Rasulullah SAW, demikian tulis Ibnu Katsir.
Jika kedua ayat diatas hampir sama, maka kedua ayat berikutnya sama persis. Perhatikan ayat berikut:
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3)
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5)
Abu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith, menukil pendapat Abu Muslim menjelaskan bahwa walaupun ayat ini sama persis namun ada pemaknaan yang berbeda dalam memahami arti huruf “ma” ( ما ) pada kedua ayat tersebut. Huruf “ma” pada ayat ke 3 bermakna yang disembah, diyakini bahwa “ma” tersebut masuk dalam katagori ma maushulah, sedangkan ma pada ayat ke 5 berarti cara, dengan menilai bahwa huruf ma yang terakhir sebabagai ma mashdariyah.
Degan demikian kedua ayat tersebut mempuyai makna yang berbeda, walau redaksiya sama. Maksud dari ayat ke 3 adalah: Kalian tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Sedang ayat ke 5 memiliki makna: Kalian tidak akan menyembah dengan cara aku menyembah.
Namun pada akhirnya kita semua akan menemukan titik inti dari pengulangan yang ada pada beberapa ayat diatas, bahwa itu semua sebagai penguat dari penolakan Rasulullah SAW atas tawaran kompromi yang tidak logis itu. Setelah dengan tegas pada ayat ke 2 Rasul menolak, agar tidak muncul keraguan dan persepsi ganda akhirnya penolakan itu diulang pada tiga ayat berikutnya.
Lakum Dinukum Waliyadin
Setelah penolakan yang keras dari awal ayat hingga ayat ke 5, surat ini ditutup dengan redaksi yang pas sekali. Dalam ilmu munasabah(kesesuaian) dalam Al-Quran, ketika surat ini dicerna awal dan akhirnya, para ulama menemukan kesesuaian itu. Penolakan tawaran kompromi itu ditutup dengan solusi bagaimana cara sebaiknya menyikapi perbedaan yang tidak mungkin disatukan.
“Bagi kalian agama kalian, dan bagai saya agama saya”, demikian terjemahan ayat terakhir surat ini. Kata Ad-Din yang juga bermakna agama pada ayat ini tidak difahami bahwa Rasulullah SAW diminta untuk “mengakui” kebenaran agama mereka. Tidak. Ini hanya sifatnya “pembiaran” sementara kepada mereka atas keyakinan yang mereka anut jika saja Islam belum bisa diterima dihati mereka. Atas dasar bahwa tidak ada paksaan dalam bergama (QS. Al-Baqarah: 256).
Sebagaimana seorang muslim diminta untuk membiarkan mereka melaksanakan keyakinan “agama” mereka, maka begitu juga sebaliknya bahwa mereka membiarkan seorang muslim menjalani agama yang mereka yakini kebenarannya. Inilah solusi yang paling perfek dalam menyikapi perbedaan aqidah dalam kehidupan bermasyarakat.
Biarkan saja mereka melakukan ritual ibadah mereka, jangan diganggu, dan jangan juga ikut “beribadah” dihadapan tuhan mereka dengan cara penyembahannya yang khusus itu, karena memang seorang muslim juga punya aqidah yang lain, dengan ajaran yang berbeda, dan dengan cara penyembahan yang berbeda pula, yang semestinya juga tidak boleh diganggu oleh mereka, dan tidak pula “memaksa” mereka untuk mengikuti ritual ibadah seorang muslim.
Merayakan dan Memberi Ucapan Natal
Merayakan dan memberi ucapan adalah dua hal yang harus difahami dengan baik. Merayakan artinya meyakini bahwa natal sebagai hari raya, sama seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang memang harus dirayakan.
Merayakan yang dimaksud artinya seseorang ikut serta merayakan hari itu dengan sengaja mengikuti ritul ibadah mereka. Dan semua ulama sepakat bahwa perilaku ini tidak boleh, haram hukumnya bahkan bisa-bisa dengan tindakan ini seorang muslim sudah keluar dari sebutan muslim. Karena merayakan dengan menghadiri ritual itu artinya kita ikut serta menyembah apa yang mereka sembah, dan menyembah dengan cara mereka menyembah.
Dan itu juga yang dikeluarkan fatwa haram oleh MUI, dalam fatwa tanggal 7 maret 1981 / 1 Jumadal-ula 1405 H. Dan fatwa semacam ini bukan hanya milik MUI, tapi ulama sejagad pun mengharamkan yang namanya ikut natal bersama.
Adapun permasalahan berikutnya adalah memberikan ucapan natal kepada mereka yang merayakan hari tersebut. Disnilah letak perdebatannya. Suka atau tidak suka, bahwa ulama-ulama besar di jagad ini tidak satu kata disini.
Ada yang sangat keras dengan menilai bahwa ucapan natal pun dinggap terlarang, dan haram hukumnya. Ada juga yang agak longgar dengan menilai bahwa tidak ada masalah, terkhusus untuk mereka yang tingga di negri minoritas, dan ada juga pendapat yang tengah-tengah, bahwa keblehan mengucapkan natal itu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Baik pendapat yang agak longgar maupun yang tengah, ini dikhususkan bagi mereka yang memang punya keluarga non muslim, sahabat karib, pejabat publik, dst, bukan untuk mereka yang hanya ingin meramaikan sosial media, padahal sama sekali tidak ada kebutuhan untuk itu; keluarga muslim semua, temen juga muslim, pejabat publik bukan, tapi punya keinginan ingin memberikan ucapan juga.
Tahni’ah (ucapan natal) yang halal adalah tahni’ah kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut pendapat ketiga ini. Contoh ucapannya seperi: “Semoga tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda di hari ini.”
Kebolehan ucapan seperti itu disandarkan dengan ucapan nabi kepada Heraklius dengan redaksi: “Assalaamu ‘ala man ittaba’a al-huda”, keselamatan atas dia yang mengikuti petunjuk, ucapan seperti ini tidak ada unsur sama sekali keridhaan terhadap agama Heraklius.
Adapun tahni’ah (ucapan) yang haram adalah tahni’ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram. Misalnya ucapan tahniah itu berbunyi, “Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.”
Hal ini ini tentunya juga berlaku untuk segala aktivitas lainnya yang mengarah kesana, memakai topi Santa, menghias pohon natal, dst. Ini memang permasalahan sensitif, ada baiknya permasalahan ini jangan dijadikan guyonan, atau iseng-iseng berhadiah, sehingga kita juga latah, dengan mencoba-coba nimbrung disini. Saking sensitifnya bahkan penulis sendiri tidak mau menuliskan nama-nama ulama yang berbeda pandangan ini, takut nanti para ulama juga dibully.
Dikhawatirkan bahwa awalnya coba-coba mengucapkan, lalu coba-coba menggunakan atribut natal, membuat pohon, ikut makan-makan, pada akhirnya ikut upacaranya di Greja, dan saat itu Anda sudah bukan muslim/ah lagi. Semoga Allah menjaga keimanan ini hingga akhir hayat.
“Ya Allah kami berlindung kepada-Mu dari melakukan perbuatan syirik dari apa yang kami ketahui, dan kami juga berlindung dari mensyirikkkan-Mu dari hal yang kami tidak ketahui” Aamiin.
Wallahu A’lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA.
Sumber: http://www.rumahfiqih.com/tafsir/x.php?id=13&=lakum-dinukum-waliyadin.htm