MENITI JALAN PASCA-RAMADHAN

Oleh : Muclis M. Hanafi

Khutbah Juma’at di Masjid Istiqlal 30 Ramadhan 1444 H

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، مَن يهدِهِ الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هاديَ له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله؛ ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102]، ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴾ [الأحزاب: 70، 71]؛ أما بعد:

Hari demi hari berjalan dengan sangat cepat. Bulan dan tahun datang silih berganti. Itulah sunnatullah yang tidak akan berubah. Selama hampir satu bulan kita menyibukkan diri dengan pelbagai amal ibadah dalam suasana kekhusyukan Ramadhan. Hari ini, kita telah berada di penghujung bulan, dan bersiap meninggalkan Ramadhan. Bahkan, beberapa saudara kita ada yang telah merayakan idul fitri. Pertanyaannya, apa yang telah kita persembahkan selama Ramadhan, dan apa yang Ramadhan berikan pada kita?

Bagi seorang mukmin sejati, Ramadhan akan mengubah banyak cara pandang, sikap dan perilakunya. Dia sangat sadar, Tuhan tidak hanya memberikan kebaikan di bulan Ramadhan. Tetapi, di sepanjang tahun kita diperintahkan untuk selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Dia betul-betul menjadi hamba yang Rabbâniy (pemuja Tuhan), bukan sekadar Ramadhâniy (pemuja Ramadhan). Di sisi lain, ada yang menjalankan puasa Ramadhan tetapi ibadahnya tidak membekas dalam dirinya. Dalam arti, tidak mampu menciptakan rasa takut (khasyah) kepada Allah, dan tidak mampu menghadirkan Allah dalam diri-Nya, sehingga merasa selalu diawasi. Dia hanya baik selama Ramadhan. Tetapi setelah itu kembali kepada kebiasaan lama yang buruk. Alangkah menyesalnya dia kelak di kemudian hari.

Rasulullah pernah menyindir orang yang seperti itu dengan mengatakan, “betapa banyak orang berpuasa yang hanya merasakah lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah). “Mereka yang tidak mampu meninggalkan perbuatan dan ucapan tercela, puasanya menjadi tidak bermakna, karena Allah tidak membutuhkan puasa orang yang seperti itu” (HR. Al-Bukhari).

عَن أَبي هُريرةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قالَ: قَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: “مَنْ لم يَدَعْ قوْلَ الزُّورِ وَالعملَ بِه ، فَلَيْسَ لله حَاجَةٌ في أَن يَدَعَ طَعامَهُ وشرابَهُ”. (رواه البخاري)

Dari Abu Hirairah RA Rasulullah bersabda, “siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan tercela, Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum” (HR. Al-Bukhari)

Ma`asyiral muslimîn rahimakumullâh

Hari ini, meski hanya tinggal beberapa jam, kita masih punya kesempatan. Manfaatkan semaksimal mungkin. Sambil berharap, Ramadhan dapat kita akhiri dengan husnul khâtimah. Yang merasa telah melakukan banyak hal, jangan jumawa. Para ulama mengajarkan agar dalam beragama kita selalu merasa mawas diri, baynal kahwfi warrajâ; antara cemas amal ibadah kita tidak diterima oleh Allah, dan harapan Allah meridahi itu semua. Kita tidak pernah tahu, apakah ibadah yang kita lakukan diterima dan diridhai oleh Allah atau tidak. Tetapi, sekian banyak ayat dan hadis memberikan isyarat tanda diterimanya amal ibadah seseorang. Paling tidak ada tiga hal yang bisa disebutkan di sini;

Pertama: istiqamah dalam melaksanakan ketataan, tanpa terikat dengan waktu dan tempat. Taat kepada Allah bukan musiman. Tetapi, terus berlanjut selama hayat masih dikandung badan. Hanya maut yang bisa memisahkan kita dengan kewajiban taat kepada Allah Swt.

﴿ وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ࣖࣖ ﴾ ( الحجر/15: 99)

Sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu. (QS. Al-Hijr/15:99)

Ketika ditanya tentang amalan Nabi SAW, apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu, Sayyidah Aisyah RA menjawab: “kâna `amaluhu dîmah” (Amalannya selalu istiqamah) (HR. Al-Bukhari). Begitu juga ketika Rasulullah ditanya tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah, beliau menjawab, “adwamuhâ wa in qalla” (yang paling langgeng, walapun sedikit) (HR. Bukhari dan Muslim).

Beribadah secara istiqamah tidaklah mudah. Hanya mukmin sejati yang bisa melakukannya. Allah berpesan betul kepada Rasulullah agar tetap istiqamah sesuai perintah-Nya. Allah berfirman:

﴿ فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ﴾ ( هود/11: 112)

Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud/11:112)

Sesuai pengakuannya, sedemikian beratnya perintah istiqamah, ayat dalam QS Hud inilah yang menyebabkan uban tumbuh di kepala Nabi SAW sehingga terlihat tua (HR. Al-Tirmidzi). Menurut Ibnu Abbas RA, ini adalah ayat yang berat dirasakan oleh Nabi SAW.

Dalam konteks ini, Al-Hasan al-Bashri pernah berkata, “Di antara bentuk balasan atas kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Di antara balasan keburukan adalah keburukan sesudahnya. Bila Allah berkehendak menerima amal ibadah seseorang, Dia akan terus memudahkannya dalam ketaatan, dan menjauhkannya dari kemaksiatan”. Orang yang melakukan kebaikan kemudian diikuti dengan kebaikan lainnya itu pertanda Allah menerima, merestui dan memberkahi amal ibadahnya.

Ma`âsyiral muslimîn hafizhakumullâh

Indikator kedua diterimanya amal seseorang adalah selalu diliputi oleh kekhawatiran amalnya tidak diterima, sehingga berupaya untuk lebih meningkatkan ibadahnya. Seorang mukmin sejati akan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Tetapi, pada saat yang sama dia merasa khawatir ibadahnya tidak diterima. Sayyidah Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah tentang sebuah ayat dalam surah Al-Mu`minun yang berbunyi:  

﴿ وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ ﴾ ( المؤمنون/23: 60)

Mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya, (QS. Al-Mu’minun/23:60)

Apakah yang dimaksud adalah mereka yang selalu minum khamar dan mencuri? Nabi menjawab, “Bukan, wahai Putri Al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang selalu berpuasa, melaksanakan shalat, bersedekah, tetapi selalu khawatir ibadah mereka tidak diterma, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan (HR. Al-Tirmidzi). Mereka tidak asal mengerjakan ibadah. Bukan hanya itu perhatian mereka. Tetapi, bagaimana agar amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Perasaan inilah yang selalu membuatnya rindu kepada Allah dan menjadikan Allah selalu hadir dalam kalbu mereka.          

Ibnu Ath`illah as-Sakandari pernah menyindir, “Boleh jadi Allah bukakan untukmu jalan keataatan, tetapi tidak dibukakan untukmu jalan keberterimaan” (rubbamâ fataha laka bâb al-thâ`ah wa mâ fataha laka bâb al-qabûl). Seseorang yang diterima amalnya akan sampai kepada Allah. Tidak adalah hijab penghalang yang menutupinya. Hatinya diliputi kerinduan dan mahabbah. Sebaliknya, ibadah yang tidak diterima hanya sebatas khidmah (pengabdian dan ketaatan), tidak naik ke tingkat mahabbah.

Indikator ketiga adalah amal shaleh yang dilakukan oleh seseorang membekas dalam cara pandang, sikap dan perilaku kesehariannya, baik dalam hubungannya dengan Allah Swt maupun dengan dirinya dan sesama makhluk. Ketatan pada Allah merupakan jalan untuk menyucikan jiwa dan membersihakan kalbu. Sejauh mana ketaatan seseorang sejauh itu pula ilmu, amal dan hidayah yang Allah berikan. Allah berfirman:

 وَاِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوْاۗ ﴾ ( النّور/24: 54))

Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. (An-Nur/24:54)

Yang dibutuhkan dari kita bukan sekadar taqarrub kepada Allah dengan berbagai bentuk amal ibadah. Tetapi, yang terpenting adalah esensinya, yaitu `ubûdiyyah (penghambaan) kepada Allah. Ibadah adalah kerja fisik yang Allah perintahkan kepada kita dalam bentuk shalat, puasa, haji dan sebagainya. Selama telah memenuhi syarat dan rukunnya sah ibadahnya, dan dipandang telah menunaikan kewajiban. Sedangkan ‘ubudiyyah adalah perasaan rendah diri dan hina yang meliputi diri seseorang di hadapan Allah, sehingga mengantarkannya untuk mengagungkan Allah, hanya tunduk dan selalu berdoa serta memohon ampun kepada-Nya. ‘Ubûdiyyah akan melahirkan rasa rindu dan cinta (mahabbah) kepada Allah, serta kasih sayang (rahmah) kepada sesama.

Ma`âsyiral muslimîn hafizhakumullâh

Ulama kenamaan Syria, Syeih Ramadhan al-Buthi dalam Syarh kitâb al-Hikam mengingatkan, boleh jadi kita bangga karena merasa telah melakukan kebaikan ini dan itu. Tetapi, terkadang kita lupa masih menyertakan tujuan-tujuan jangka pendek berupa kemaslahatan duniawi kita. Ibadahnya tidak membekas dalam bentuk akhlakul karimah. Bagaimana mungkin akan diterima. Jangankan diterima, boleh jadi ketaatan itu berubah menjadi kemaksiatan. Berubah menjadi maksiat karena kita telah menipu Allah, dengan mempersembahkan kebaikan seakan sebuah ketaatan, padahal di situ ada kepalsuan. Wal`iyâdzu billâh.

Kita berharap, ibadah Ramadhan yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dapat melahirkan kesadaran kolektif untuk senantiasa melakukan kebaikan. Masyarakat yang individu-individunya taat beragama akan mampu mengendalikan berbagai bentuk penyimpangan. Sebab, ibadah dan ketatan yang berkualitas akan mampu mengubah cara pandang, sikap dan perilaku menjadi lebih baik. Oleh karenanya, mari kita pertahankan terus tradisi baik yang kita jalankan selama Ramadhan. Jangan seperti perempuan bodoh yang diilustrasikan Al-Qur`an; merusak kain tenun setelah kelar ditentun dari pagi hingga sore. Tidak ada hasilnya, kecuali letih dan lelah. Jangan pula seperti pedagang yang telah berususah payah mengumpulkan uang, tetapi setelah itu dibiarkan begitu saja, tapa dijaga dan dipelihara. Masih ada kesempatan untuk berbuat baik, sebelum ajal datang menjemput.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ