Zakat Mal untuk Pembangunan Masjid
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, selama ini saya biasa memberikan zakat mal saya setiap bulannya ke suatu lembaga/yayasan yang dipercaya pengelolaannya. Tetapi kebetulan saat ini di lingkungan rumah saya akan dibangun masjid karena biasanya kami kalau mau sholat harus ke kampung tetangga yang cukup jauh.
Pertanyaannya bagaimana hukumnya jika saya mengalihkan zakat mal saya untuk pembangunan masjid tersebut?
Demikian pak ustaz, atas jawabannya saya mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban :
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alokasi penyaluran harta zakat tidak boleh disamakan dengan sedekah, infaq atau ibadah maliyah lainnya. Sebab di dalam surat At-Taubah Allah SWT telah membuat batasan siapa saja yang boleh menerimanya. Tentu kita tidak boleh melanggar atau mengqiyas seenaknya, sehingga aturan itu malah tidak berjalan dengan benar.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah.(QS. At-Taubah : 60)
Kalau kita cermati ayat Al-Quran di atas, yang terkait dengan siapa saja yang berhak mendapat harta zakat, kita tidak menemukan masjid sebagai mustahik zakat.
Oleh karena itu dalam prakteknya, meski sudah ada syariat zakat di masa Nabi SAW, tetapi pembangunan masjid Nabawi dan pemugaran-pemugaran sesudahnya tidak pernah diambilkan dari dana zakat.
Demikian juga dengan pembanguan semua masjid lainnya, termasuk pemugaran dan perluasan masjid Al-Haram di Mekkah, tidak pernah menggunakan dana zakat. Sebab alokasi dana zakat sejatinya memang bukan untuk membangun masjid.
Kesimpulannya, kita tidak menemukan contoh bagaimana dana zakat digunakan untuk dana pembangunan masjid. Semua sudah ditetapkan aturannya dan hanya 8 asnaf saja yang berhak menerimanya.
Maksud Fi Sabilillah Dalam Al-Quran
Dalam penerapannya, para ulama dari 4 mazhab fiqih; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali memaknai kata Fi Sabilillah dan membaginya menjadi 3 makna:
1. Diberikan Langsung Kepada Mujahidin Berstatus Relawan Jihad
Mujahidin relawan jihad maksudnya adalah mereka yang berjihad secara sukarela dan mereka tidak punya jatah harta dari baitul-mal. Makna pertama ini ialah yang disepakati (muttafaqalaih) oleh seluruh ulama fiqih.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perang itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan biaya itu sebagiannya memang ditanggung langsung oleh para peserta perang.
a. Kendaraan
Setidaknya harta itu harus cukup untuk membeli kuda atau unta perang, sebab kebanyakan perang itu dilakukan jauh di luar negeri. Dan tidak mungkin berangkat perang hanya dengan bermodal jalan kaki. Tentu harga kuda atau unta cukup mahal bagi kebanyakan orang dan tidak terjangkau oleh mereka yang miskin.
b. Senjata dan Perlengkapan Perang
Seorang yang ingin ikut serta dalam perang juga harus punya senjata seperti pedang, busur dan anak panahnya, atau juga tombak. Dan harga benda-benda itu juga tidak murah untuk ukuran orang miskin kebanyakan.
Perlu diingat bahwa sebuah perang tidak mungkin diikuti hanya dengan tangan kosong. Mengingat bahwa musuh yang dihadapi juga menggunakan senjata, tidak mungkin dilawan hanya dengan tangan kosong. Dan perang secara fisik tidak mengandalkan ilmu silat atau ilmu kebatinan, apalagi ilmu santet jarak jauh.
Selain senjata juga dibutuhkan perlengkapan lain sebagai pelengkap yang tidak mungkin dilupakan, seperti tameng, helm baja, atau baju besi.
Pendeknya semua itu membutuhkan banyak biaya, yang harus dikeluarkan dari kocek pribadi masing-masing peserta perang.
c. Bekal Makanan dan Perlengkapan Lainnya
Meski pun dalam peperangan, namun hal yang tidak mungkin dilupakan adalah kesiapan dalam bekal makanan. Karena tidak mungkin seorang ikut berperang sambil mencari warung makan. Jadi tiap peserta perang harus punya bekal makanan sendiri-sendiri, yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebab ada perang yang memakan waktu cukup lama, ada yang sebulan, bahkan sampai berbulan-bulan.
Perang itu masuk ke medan pertempuran, tidak mungkin pakai sendal jepit atau nyeker seperti ayam. Setidaknya mujahidin butuh sepatu bot, dan semua perlengkapan lainnya. Dan semua itu butuh biaya.
d. Nafkah Keluarga
Selain bekal untuk dirinya, peserta perang juga harus membekali istri dan anak-anak yang ditinggalkannya selama berperang dengan nafkah yang cukup.
Apalah artinya ikut jihad dan berperang berbulan-bulan, kalau mereka malah menterlantarkan anak-anak dan istri tanpa nafkah. Tentu perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena hanya akan menjadikan pelakunya zalim terhadap keluarganya.
Semua yang disebutkan di atas itu pada intinya mengharuskan para peserta perang untuk punya harta yang cukup. Oleh karena itu kita seringkali menemukan ayat di dalam Al-Quran tentang jihad denga harta dan jiwa.
لاَّ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُـلاًّ وَعَدَ اللّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidaklah sama antara mu’min yang duduk yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (QS. An-Nisa’ : 95)
Kalau memang demikian, maka hanya mereka yang kaya dan berharta saja yang bisa ikut perang, sedangkan mereka yang miskin dan tidak punya, tentu tidak bisa ikut merasakan manisnya jihad di jalan Allah.
Oleh karena itulah maka salah satu jalan keluar dari masalah ini adalah diberikan harta dari zakat buat membantu mereka yang ingin ikut serta berjihad di jalan Allah, namun tidak punya harta yang cukup.
Maka para mujahidin yang menjadi relawan jihad ini berhak mendapat jatah dari zakat. Bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk segala kebutuhan perangnya seperti makannya, bayar angkutannya dan juga senjatanya. Pendeknya selama ia berada dalam peperangan, ia berhak mendapatkan jatah harta zakat.
Dan tidak ada syarat bahwa ia adalah seorang faqir, melainkan bahwa orang kaya sekalipun jika ia berstatus sebagai relawan perang, maka ia berhak atas harta zakat tersebut walaupun dalam jangka waktu yang lama.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لَا تَحِلُّ اَلصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: …. أَوْ غَازٍ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ
Dari Abu Said Al-Khudriy ra, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “harta zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali 5 golongan;…………. Orang yang berperang dijalan Allah.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Hanya saja mazhab Al-Hanafiyah mempunyai batasan, yaitu jika seseorang mempunyai harta senilai 50 dirham perak lebih atau emas yang bernilai sama, maka dia tidak berhak mendapatkan jatah harta zakat walapun ia seorang mujahid atau relawan jihad.
Mazhab Al-Malikiyah menjelaskan bahwa relawan jihad yang berhak mendapatkan jatah harta zakat juga harus memenuhi syarat wajib jihad, yaitu muslim, laki-laki, baligh, dan mampu.
Dan juga disyaratkan untuk relawan jihad bahwa ia bukan dari keluarga Nabi SAW. Karena keluarga beliau SAW termasuk ke dalam kalangan yang diharamkan menerima harta zakat.
2. Untuk Mashlahat Perang Secara Umum
Ini adalah makna yang disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah. Menurut mereka harta zakat tidak hanya diberikan kepada mujahidin saja, tetapi dibayarkan juga untuk maslahat perang secara umum dan kolektif.
Contoh maslahat perang ialah untuk biaya proyek membangun tembok besar bagi negara guna melindungi para penduduk dari serangan musuh. Maka harta zakat tidak diberikan kepada orang per orang dari mujahidin, melainkan dimanfaatkan untuk biaya proyek pembangunan dan infra-struktur.
Selain itu menurut pendapat ini bisa juga misalnya untuk membuat angkutan perang, baik darat, laut dan udara.
Juga yang termasuk maslahat perang ialah membayar mata-mata untuk operasionalnya dalam memata-matai tentara musuh, baik itu muslim atau kafir. Mazhab Asy-Syafi’iyah membolehkan harta zakat untuk membeli atau membuat senjata perang, kemudian senjata-senjata tersebut dijadikan barang wakaf untuk para peserta perang dan dikembalikan lagi setelah peperangan.
Namun mazhab Al-Hanabilah tidak setuju memaknai fi sabilillah sebagai makna ini. Karena menurut mereka makna ini justru menjadikan harta zakat bukan untuk yang berhak. Sebagaimana yang dikatakan oleh pemimpin mazhabnya, Imam Ahmad bin Hambal: “dalam hal ini zakat tidak diberikan kepada ‘orang’, padahal zakat itu dibayarkan untuk ‘orang’.”
Jadi Bagaimana Dengan Asnaf Fi Sabilillah? Bisakah Pembangunan Masjid Dikategorikan Fi Sabilillah?
Memang ada sebagian kecil kalangan yang mencoba-coba mengqiyaskan antara masjid dan fi sabilillah. Sebab pembangunan masjid pasti ada unsur fi sabilillah di dalamnya.
Menurut kalangan ini, apa pun pekerjaan yang memuat nilai-nilai perjuangn umat, bisa dikategorikan fi sabilillah. Sehingga dana zakat bisa buat beragam kegiatan, seperti masjid, sekolah, dakwah, ceramah, dan seterusnya.
Misalnya Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan dalam Fiqhuz Zakat. Beliau menyebutkan sebuah lembaga dakwah atau Islamic center di sebuah negeri minoritas muslim tentu sangat layak mendapatkan dana zakat ini, karena pada hakikatnya yang dilakukan oleh Islamic Center ini tidak lain adalah memperjuangkan agama Islam.
Bahkan bila Islamic Center itu adanya di negeri muslim sekalipun tetapi memiliki peranan besar dalam memperjuangkan Islam, termasuk yang bisa dikategorikan fi sabilillah.
Di masa sekarang ini, umat Islam pun sedang menghadapi peperangan yang sangat dahsyat dari pihak musuh yang bersekutu. Bahkan tidak saja menggunakan senjata konvensional, tetapi juga dengan segala sarana seperti media massa, organisasi, LSM, kampanye dan sejenisnya.
Para musuh Islam berusaha memurtadkan umat Islam dengan sekian banyak program yang mereka gariskan. Karena itu sudah sewajarnya umat Islam bertahan dan juga memasang jurus yang minimal sama untuk membendung arus pemurtadan kontemporer itu. Sehingga menurut sebagian ulama, jihad fi sabilillah di masa kini mencakup juga mendirikan sekolah, Islamic Center, lembaga/ organisasi dakwah dan sejenisnya. Di mana misinya adalah memperjuangkan kepentingan umat Islam dan demi tegaknya syarait Islam.
Berangkat dari ijtihad seperti itu, maka bila masjid itu memang memiliki peran tersendiri dalam perjuangan menegakkan Islam, maka bisa saja dikategorikan sebagai fi sabililah. Apalagi bila masjid itu dibangun di wilayah minoritas Islam, atau di wilayah yang penduduknya muslim namun kurang sekali pengamalan Islamnya, sehingga keberadaan masjid itu memang menjadi sebuah nilai perjuangan tersendiri karena bermisi menegakkan Islam.
Kritik
Namun qiyas ini pun masih meninggalkan perbedaan dan kritik. Salah satu kritik yang paling kuat bahwa zaman Rasulullah SAW, wujud fi sabilillah adalah orang yang turun ke medan perang secara fisik demi membela Islam.
Dengan penjelasan tentang mujahidin yang berperang di atas, bahkan seorang mujahidin yang sudah menerima zakat, bila dia mengundurkan diri tidak jadi ikut dalam perang, tentu haknya atas harta itu dibatalkan.
Atau bila dengan harta itu tidak membelanjakan untuk kepentingan perang, juga tidak dibenarkan. Misalnya untuk biaya kawin lagi, atau untuk menyekolahkan anaknya, jelas tidak dibenarkan.
Kalau mujahidin yang memang sudah berstatus fi sabilillah saja bisa batal haknya dari menerima zakat, apalagi yang sama sekali bukan mujahidin, tentu lebih tidak berhak lagi.
Membangun masjid memang bagian dari perjuangan di jalan Allah. Tetapi nilainya sangat jauh dengan jihad dalam bentuk pertempuran secara fisik.
Apalagi bila masjid itu dibangun hanya sekedar untuk bermegahan atau main gengsi para pngurusnya dengan kemegahan bangunan, sementara setelah itu masjid itu ditinggalkan karena tidak ada yang shalat, atau tidak punya program Islamisasi yang jelas dan pasti, maka penggunaan dana zakat itu menjadi dipertanyakan.
Wallahu a`lam bish-shawab, Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.